TRIBUN-MEDAN.com, JAKARTA - Sertifikasi halal bukan sekadar masalah stempel bertuliskan halal. Selain urusan syariah bagi orang Islam, ada urusan uang besar di belakang sertifikasi ini. Godaan uang untuk meloloskan sertifikasi halal pun gampang ditebak.
Masalah transparansi dan kepercayaan dari semua pihak yang terkait, menjadi tantangan besar. Bukan hanya di Indonesia, masalah kewenangan menjadi persoalan seperti dalam pembahasan RUU Jaminan Produk Halal.
"Soal kewenangan ini memang selalu jadi persoalan, tak hanya di Indonesia dan tak cuma terkait sertifikasi halal," ujar Chairman Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) Dradjad Hari Wibowo, mengawali pembicaraan melalui telepon, Kamis (27/2/2014).
Dradjad mengatakan hampir semua pemerintah cenderung ingin memegang penuh kewenangan sertifikasi produk. Apalagi kehalalan produk akan mencakup masalah uang besar, karena terkait makanan, minuman, obat, hingga bahan turunannya.
Konsumen dan non-pemerintah jadi acuan
Sebelum masalah kewenangan, Dradjad mengatakan sertifikasi kandungan atau kualitas produk, tak hanya soal kehalalan produk, di praktik global selalu menggunakan acuan sertifikasi di negara konsumen. "Jadi produk bersertifikasi halal MUI, misalnya, belum tentu diakui di Malaysia," kata dia.
Lalu, pelaku industri internasional, punya kecenderungan untuk tidak menjadikan sertifikasi dari pemerintah sebagai acuan. "Pemerintah dinilai tidak independen," ujar Dradjad. Inilah yang mendorong kemunculan standardisasi International Organization for Standardization (ISO).
"ISO itu bukan dari lembaga pemerintah, tapi lintas stakeholders. Tidak di setiap negara ada keterlibatan pemerintah dalam lembaga sertifikasinya," imbuh Dradjad. Merujuk pada praktik semacam ISO, industri jauh lebih percaya bila sertifikasi dikeluarkan oleh lembaga non-pemerintah dan berasal dari "kubu" konsumen.
Karenanya, Dradjad berpendapat polemik soal RUU Jaminan Produk Halal yang mandek karena pemerintah bersikukuh memegang penuh kewenangan sertifikasi, sebaiknya berkaca pada best practices internasional ini. Polemik soal kewenangan yang melibatkan unsur syariah, kata Dradjad, sebelumnya pernah terjadi ketika wacana perbankan syariah mencuat.
Saat itu Bank Indonesia yang masih menjadi otoritas pengawas perbankan ingin segala kewenangan terkait perbankan syariah ada di bawah bank sentral ini. Sebaliknya, Majelis Ulama Indonesia bersikukuh pula urusan syariah sekalipun itu terkait bank harus menjadi kewenangannya.
"Saya tawarkan jalan tengah, BI mengatur regulasi terkait prinsip perbankan, sementara MUI menentukan standar syar'i atau tidaknya produk perbankan syariah," tutur Dradjad yang saat itu merupakan anggota Komisi Keuangan di DPR. Malaysia menjadi rujukan.
"Itu akhirnya untuk pertama kali waktu itu saya mau kunjungan kerja ke luar negeri. Hasilnya, pengelolaan perbankan syariah menggunakan modifikasi dari sistem yang berjalan di Malaysia," tutur Dradjad mengenang.
Menurut Dradjad, sertifikasi halal juga dapat melakukan modifikasi sistem serupa. Ada pembagian peran antara pemerintah, lembaga seperti MUI, maupun lembaga sertifikasi lain yang dimungkinkan muncul. "Selama semuanya terlebih dahulu menyepakati standar kehalalan produk."
Uang
Sertifikasi, kata Dradjad, memang terkait erat dengan uang. Tanpa sertifikasi yang diterima di negara konsumen dengan aturan ketat, produk bagus pun cenderung tak bisa diterima. Kasus kayu Indonesia adalah contoh yang masih aktual saat ini.
Sebelumnya, Pemerintah membentuk lembaga sertifikasi untuk memenuhi ketentuan internasional yang mengharuskan produk kayu dan turunannya tidak menggunakan bahan dari hasil pembalakan liar.
Namun, karena sertifikasi itu dibuat oleh pemerintah, sampai hari ini produk kayu dan turunannya dari Indonesia masih sulit menembus pasar negara maju. "Nyaris tidak bisa sama sekali," sebut Dradjad.
Kondisi di sektor kayu inilah yang mendorong Dradjad merintis lembaga sertifikasi dengan melibatkan para pihak terkait laiknya lembaga sertifikasi yang menerbitkan ISO. Itu pun, kata dia, yang dibutuhkan tetap saja pengakuan sertifikasi dari negara konsumen. Karenanya, payung lembaga yang lebih luas diperlukan.
Saat ini ada dua lembaga sertifikasi internasional di bidang perkayuan. Satu lembaga berafilisasi dengan organisasi Greenpeace, dan satu lembaga lain bermula dari Eropa tetapi kemudian melebarkan sayap mendunia, Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC).
"Sertifikasi itu bisnis besar, terkait pula dengan kewenangan. Orang akan berebut, termasuk pemerintah pasti berupaya mendapatkan kewenangan," ujar Dradjad.
Lagi-lagi belajar dari ISO, semula negara-negara maju enggan mengakui ISO sebagai standar kualitas produk. Namun, ketika industri dan pihak terkait bersikukuh bersama-sama menggunakan ISO, barulah negara-negara itu "tunduk" mengacu pada ISO.
Akhirat
Pada akhirnya, apapun lembaga sertifikasi dan transparansi yang diberlakukan, Dradjad mengatakan poin terpenting adalah para pelaku dan pelaksana. "Kalaupun kandungan produk dipastikan murni halal, tapi ada sogokan untuk mendapatkan sertifikasinya, tetap saja kehalalan produk itu cacat," kata dia.
Apalagi, ujar Dradjad, pemeriksaan ke lokasi untuk memantau proses produksi produk bisa saja menghasilkan data yang "bersih" tetapi tak ada jaminan apakah di luar waktu pemeriksaan proses tersebut tetap sama bersihnya. Di Amerika yang relatif jauh lebih maju dari Indonesia saja kebobolan, kata dia, soal pemasaran daging kuda yang diklaim sebagai daging sapi.
"Ini jumlah berton-ton, bukan diselipkan satu dua kilogram," kata Dradjad. Poinnya, ini soal orang-orang yang terlibat. "Apapun sistemnya, kalau orangnya suka terima suap, akan tetap bobol," tegas Dradjad.
Ibaratnya dalam hukum agama Islam, orang yang tidak tahu tidak akan dipersalahkan bila mengonsumsi barang tak halal. Namun, bila ada orang yang tahu tapi pura-pura tak tahu ada kandungan tak halal, apalagi karena menerima sogokan dan membiarkan produk itu dikonsumsi oleh orang yang tak tahu kandungannya, menurut Dradjad urusannya akan jadi dunia-akhirat.
Sertifikasi, sekali lagi memang tak sesederhana pemberian stempel maupun sertifikat. Pada kasus kehalalan produk, tidak setiap produk akhir tanpa kandungan produk non-halal maka dinyatakan halal. Tidak sedikit produk tanpa kandungan non-halal, proses produksinya melibatkan penggunaan zat non-halal.
"Di luar negeri dan perkayuan sudah diterapkan sistem CoC, Chain of Custody," kata Dradjad. Bila produk akhir bisa ditelisik lewat pengujian kimia untuk menentukan kandungan zat-nya, maka CoC dipakai untuk menelusuri kemungkinan keterlibatan zat non-halal dalam proses produksi.
Misal, sebuah perusahaan menghasilkan dua produk, dengan satu produk dijual ke pasar konsumen produk halal dan produk lain dijual ke pasar bebas. Barang belanjaan dan peralatan produksi perusahaan harus sepenuhnya bebas dari zat non-halal.
"Bila tidak, perusahaan itu harus dipecah dua. Ini untuk memastikan standar kandungan dan proses halal terpenuhi. ini sudah jalan sistem CoC di praktik internasional." Kehalalan produk, memang bukan persoalan sederhana.