Oleh MUSTHAFA ABD RAHMANMeski sudah 10 tahun berlalu, invasi Amerika Serikat ke Irak yang dilancarkan pada 20 Maret 2003 tetap menjadi bahan polemik yang tak habis-habisnya, baik di dalam negeri AS maupun di banyak negara lain. Muncul pro dan kontra yang keras terhadap invasi tersebut.
Kubu kontra menyebut invasi AS ke Irak membawa petaka besar. Kubu pro mengatakan, invasi AS itu merupakan keniscayaan untuk mengakhiri rezim tirani Saddam Hussein di Baghdad.
Akan tetapi, semua analis, baik yang pro maupun kontra, mengakui, harga yang harus dibayar dari invasi tersebut sangatlah mahal. Bahkan, sampai muncul sikap penyesalan.
Biaya invasi AS ke Irak mencapai 770 miliar dollar AS. Korban tewas dari pihak Irak sekitar 116.000 penduduk sipil, 20.000 tentara dan polisi, serta 19.000 milisi. Tercatat sebanyak 4.488 tentara AS dan 179 tentara Inggris yang tewas di Irak.
Kubu pro-invasi di AS, yang sering disebut kelompok neokonservatif, kerap berdalih, invasi AS ke Irak adalah rangkaian perang melawan teroris yang dimulai sejak serangan teroris di New York dan Washington DC, 11 September 2001.
Para pentolan kelompok neokonservatif di lingkaran Presiden AS George W Bush waktu itu adalah Wakil Presiden Dick Cheney, Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice, Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, dan Direktur Bank Dunia yang juga mantan Deputi Menhan AS Paul Wolfowitz.
Kelompok neokonservatif tersebut mengaitkan dalih perang melawan teroris dengan senjata pemusnah massal yang, menurut mereka, dimiliki rezim Saddam Hussein.
Menurut persepsi mereka, senjata pemusnah massal yang berbahaya harus dijauhkan dari tangan yang berbahaya pula karena setiap saat bisa digunakan untuk tujuan terorisme. Oleh sebab itu, menurut alur logika mereka, perang melawan rezim Saddam Hussein merupakan keharusan untuk memusnahkan senjata pemusnah massal itu.
Kaum neokonservatif itu juga meyakini, jika rezim Saddam digulingkan, bisa menjadi pintu menuju terciptanya kawasan Timur Tengah yang lebih stabil dan bahkan membuka jalan bagi terwujudnya sistem demokrasi di kawasan tersebut.
Perang sesungguhnya
Rezim Saddam di Baghdad memang dengan mudah ditumbangkan oleh mesin militer AS dalam tempo hanya sekitar dua pekan sejak invasi dimulai.
AS diakui telah memenangi pertempuran dengan mudah melawan militer Irak. Namun, banyak pengamat dan pejabat yang kala itu memberikan peringatan keras kepada AS bahwa perang sesungguhnya justru dimulai setelah rezim Saddam runtuh.
AS dengan rasa percaya diri yang berlebihan tak menggubris peringatan tersebut. Kepercayaan diri AS tecermin dari keputusan pertama penguasa AS di Irak saat itu, Paul Bremer, yang memerintahkan pembubaran semua institusi negara Irak, termasuk angkatan bersenjata Irak. Bremer kemudian membangun kembali Irak dari awal.
Keputusan itulah yang pada kemudian hari diyakini sebagai kesalahan terbesar AS di Irak yang terus berdampak sampai hari ini. Keputusan yang harus dibayar mahal oleh negara adidaya tersebut.
Bremer, dalam sebuah wawancara dengan harian berbahasa Arab, Asharq Al-Awsat, beberapa waktu lalu, mengaku salah mengambil keputusan itu.
Wolfowitz, dalam wawancara dengan koran Inggris The Sunday Telegraph, edisi Minggu (17/3/2013), juga mengakui, AS banyak melakukan kesalahan di Irak sehingga muncul gelombang kekerasan tak terkontrol.
Menurut Wolfowitz, di antara kesalahan besar AS di Irak adalah membubarkan angkatan bersenjata Irak, gagal memprediksi tingkat perlawanan pasca- tumbangnya rezim Saddam, dan AS langsung mengambil alih kekuasaan dengan menunjuk Bremer sebagai penguasa di Irak.
Setelah keputusan itu, situasi di Irak segera menjadi anarki. Rangkaian kekerasan yang terjadi hampir setiap hari ibarat mata rantai yang tak pernah putus. Hampir setiap hari ada tentara AS di Irak yang tewas akibat serangan di seantero Irak.
Siapa lawan dan siapa kawan menjadi rancu di Irak. Di sana-sini muncul gerakan perlawanan dengan berbagai nama. Jaringan Al Qaeda pun segera masuk ke Irak dengan memanfaatkan situasi kacau itu. Para mantan anggota militer Irak yang sangat terlatih ditengarai telah bergabung dengan berbagai gerakan perlawanan terhadap pasukan pendudukan AS.
Memperburuk situasi
Sistem politik yang dibangun AS di Irak juga dinilai turut memperburuk situasi di negara itu. Pasalnya, sistem politik tersebut berbasis sentimen etnis dan mazhab agama. Maka, partai-partai politik yang lahir pada era pasca-Saddam terpilah antara Sunni, Syiah, dan Kurdi.
Pola persaingan antarpartai tidak sebatas di ranah politik saja, tetapi juga menyentuh sentimen mazhab antara Sunni dan Syiah atau etnis Arab dan Kurdi.
Ironisnya, persaingan atau konflik antarkelompok di Irak sering tak diselesaikan lewat dialog, melainkan kekerasan. Aksi kekerasan yang terjadi pun sering digalang oleh kalangan elite politik Irak dan tak sedikit yang dilatarbelakangi sentimen mazhab atau sektarian.
Mantan utusan khusus AS untuk perdamaian Timur Tengah, Dennis Ross, kepada harian Asharq Al-Awsat edisi Senin (18/3), mengatakan, pelajaran berharga dari Irak adalah penggantian rezim hendaknya dilakukan dari dalam negara yang bersangkutan, tidak bisa dipaksakan dari luar.
Perjalanan waktu semakin menunjukkan, invasi AS ke Irak hanya membawa petaka. Apalagi, senjata pemusnah massal yang dijadikan dalih invasi tak pernah ditemukan sampai detik ini.