Laporan Wartawan Tribun Medan / Arifin Al Alamudi
TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN – Sejak sepuluh tahun lalu, perpindahan penduduk ke desa-desa yang masih jarang penduduknya (transmigrasi) di Sumatera Utara tidak terlalu banyak terjadi. Sulitnya mendapatkan lahan baru untuk dijadikan tempat penampungan adalah satu dari beberapa penyebabnya.
Yang terjadi malah sebaliknya, masyarakat di pedesaan terus berdatangan ke Kota Medan, Ibukota Provinsi Sumut. Bahkan ada juga yang urbanisasi ke Jakarta. Jika terus dibiarkan, akan terjadi jumlah penduduk yang membludak di Kota Medan. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara tahun 2010, Kota Medan dihuni oleh 2.109.339 orang atau 16,24 persen dari total penduduk di Sumut.
Dengan luas wilayah Provinsi Sumatera Utara sekitar 71.680,68 kilometer persegi yang didiami oleh 12.985.075 orang, maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Provinsi Sumatera Utara yang ideal adalah sebanyak 181 orang per kilometer persegi. Tetapi di Kota Medan jumlahnya sebanyak 7.957 orang per kilometer persegi. Sedangkan di kabupaten lain, seperti Pakpak Bharat hanya dihuni 33 orang per kilometer persegi.
Direktur Pusat Studi Ekonomi Rakyat (Pusera) Sumut Rustam Effendi (RE) Nainggolan menilai kondisi kependudukan yang tidak merata seperti ini tak bisa terus dibiarkan. Menurutnya banyak cara untuk menyiasati agar masyarakat desa tak pindah ke kota serta mendorong masyarakat yang ada di kota untuk kembali ke desanya. Bahkan bisa mendorong masyarakat kota untuk pindah ke desa-desa yang masih jarang penduduk.Satu diantaranya adalah dengan membuat pelatihan keterampilan dan modal kerja kepada masyarakat pedesaan, diutamakan yang belum memiliki pekerjaan.
Pelatihan yang dimaksud RE bukan sekedar pelatihan tanpa tindak lanjut.
Tetapi meliputi pengetahuan dan keterampilan peningkatan produktivitas pertanian dan perikanan, perbaikan alat elektronik dan telekomunikasi, perbaikan kendaraan bermotor, serta jenis‑jenis pelatihan keterampilan lainnya yang dibutuhkan dunia kerja. Tak lupa juga menyadarkan kepada masyarakat agar memahami pentingnya transmigrasi ke desa yang masih jarang penduduk.
Pemberian pelatihan dan modal kerja ini bisa diberikan kepada 10 ribu pengangguran setiap tahunnya. Biaya pelatihan dianggarkan sebesar Rp 5 juta per orang dan akan dialokasikan dari APBD sebesar Rp 50 miliar per tahun.
"Biaya pelatihan sebesar itu hanya sekitar 0,8 persen dari APBD Sumut tahun 2012 sebesar Rp 6,1 triliun, jadi tidak mustahil untuk dilakukan," jelasnya.
Menurut RE, setelah mengikuti pelatihan dan dinyatakan lulus dengan baik, peserta pelatihan akan diberikan modal kerja Rp 20 juta hingga Rp 25 juta per orang. Sumber modal kerja itu berasal dari pinjaman perbankan yang sifatnya cepat, murah, aman, dan tanpa agunan.
"Efek ganda (multiplier effect) dari program ini luar biasa. Selain akan menekan angka penganggur dan membuka lapangan kerja secara masif, program ini akan meningkatkan semangat kewirausahaan dan ekonomi kreatif di desa," jelas mantan RE.
Mengapa ini penting untuk dilakukan? Dari hasil penelitian yang lakukan Pusera, sulitnya lapangan pekerjaan di desa adalah alasan utama masyarakat desa pindah ke kota. Selain itu, sulitnya mendapatkan lahan untuk dikelola serta minimnya akses pendidikan di pedesaan menjadi alasan masyarakat Kota Medan dan sekitarnya enggan melakukan transmigrasi lokal ke desa-desa yang ada di Provinsi Sumut.
Selain itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah angkatan kerja di Sumut pada Februari 2012 sebanyak 6,56 juta orang. Terdiri dari 6,14 juta orang bekerja dan 410 ribu orang penganggur. Sehingga lapanga pekerjaan sangat dibutuhkan.
Untuk merealisasikan pelatihan tersebut, menurut RE, tentunya Pusera harus bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi dan swasta, khusunya di bidang perbankan. Rencananya ia akan menjolok dana untuk pelatihan ini dari APBD Sumut 2013, agar tahun depan program ini dapat terlaksana.
"Dengan pelatihan ini, lapangan pekerjaan di desa akan terbuka dan membentengi masyarakat desa melakukan urbanisasi. Bahkan sebaliknya, bisa memicu masyarakat kota melakukan transmigrasi karena peluang usaha di desa terbuka lebar dibanding harus bersaing di kota," kata RE Nainggolan.
Hal ini, menurut RE, sangat mungkin dilakukan bila Pemerintah Provinsi Sumut dan dunia perbankan, termasuk Bank Indonesia, dapat menyatukan visi, misi, dan semangat meningkatkan perekonomian rakyat.
"Itu bukan program yang mustahil, tetapi sangat mungkin dan tidak sulit untuk kita laksanakan. Kita hanya butuh niat kuat, konsep yang jelas dan kerjasama yang baik dengan berbagai pihak," tambah pria 62 tahun ini.
"Saya percaya bahwa perbankan Indonesia juga memiliki semangat yang kuat untuk meningkatkan ekonomi rakyat dan pemerataan kesejahteraan. Persoalannya hanya tinggal bagaimana semua pemangku kepentingan dapat melakukan kerjasama yang baik, sehat, dan berkesinambungan," tambahnya.
Tuntaskan Konflik Lahan
Selain melakukan pelatihan, amggota DPRD Sumut Syamsul Hilal juga berharap pemerintah proaktif menuntaskan persoalan lahan di Sumatera Utara. Pasalnya akibat konflik lahan, program transmigrasi oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumut banyak terhambat.
Syamsul Hilal mengakui konflik lahan merupakan warisan orde baru. Namun ia dan Komisi A DPRD Sumut berkomitmen di masa reformasi seperti ini, persoalan itu semua harus diselesaikan.
"Di masa rezim orde baru konflik tanah di Sumatera Utara mencapai 700 kasus. Namun, saat ini bertambah hingga mencapai 875 kasus. Konflik agraria harus diselesaikan. Jika tidak diselesaikan akan menjadi masalah besar di Sumut," jelas anggota Fraksi PDI Perjuangan ini.
Selain program transmigrasi terhambat karena tak mendapatkan lahan, konflik lahan juga akan memicu perusahaan-perusahaan besar enggan untuk menanamkan modalnya ke daerah-daerah pedesaan.
Menurut Syamsul, satu dari beberapa cara yang bisa dilakukan pemerintah adalah meminta Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk meninjau ulang Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki oleh perusahaan perkebunan. Sehingga bisa diinventarisir lahan mana yang bisa digunakan untuk tranmigrasi, investasi, dan lain sebagainya. Dengan menyelesaikan konflik tanah akan membuka jalan baru untuk pemerintah melaksanakan program transmigrasi. Serta membuka peluang pihak luar menanamkan modalnya di pedesaan.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumut B Sihombing mengakui persoalan transmigrasi di Sumut akibat kesulitan lahan.
"Program itu terakhir kali dilakukan pada tahun 2002 di Tapanuli Utara," katanya.Menurut dia, sejak reformasi digulirkan pada tahun 1998 dan diberlakukannya otonomi daerah, kewenangan untuk menyiapkan lahan itu dialihkan ke kabupaten
kota. Namun dengan berbagai pertimbangan, termasuk banyaknya sengketa lahan yang terjadi belakangan ini, kabupaten kota tersebut sulit untuk memberikan lahannya sebagai lokasi transmigrasi.Apalagi sebagian lahan tersebut banyak yang masuk dalam program register dan ditetapkan sebagai kawasan hutan sehingga tidak mungkin untuk dibuka menjadi lokasi transmigrasi. "Lahannya sulit dibuka karena menjadi kawasan hutan," katanya.
Melalui berbagai pertimbangan itu, pihaknya lebih menekankan program pembinaan terhadap warga yang telah ikut program transmigrasi
tersebut yang tersebar di sejumlah daerah. Ia mencontohkan di Kabupaten Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Labuhan Batu dengan jumlah yang diperkirakan cukup banyak. Pihaknya menugaskan sejumlah unit pelaksana teknis (UPT) untuk membina para transmigran tersebut. "Ada sembilan UPT yang terus melakukan pembinaan," kata Sihombing.(rif/tribun-medan.com)