Setelah hampir setahun terbaring di rumah sakit Singapura, akhirnya Olga Syahputra kembali ke tanah air. Tapi kali ini tidak dengan langkah kaki ceria yang biasa ditapakinya. Tidak pula dengan tawa jenaka dan senyum semringah yang menghiasi wajahnya. Kali ini ia benar-benar pulang. Dibalut peti mati berwarna coklat. Tidak lagi disambut lambaian tangan menyapa. Kali ini lambaian tangan lebih gemulai…mungkin ingin mengucapkan "Selamat Jalan"…
Saya bukan penggemar Olga Syahputra. Tapi bahu saya yang terguncang dan mata yang seketika menyipit ketika tergelak, jelas tak bisa menipu kalau saya terhibur dengan aksinya di layar televisi. Kedua kaki saya yang duduk bersila di depan layar kaca saat menjelang Sahur di bulan puasa, jelas berbicara banyak bagaimana setianya saya melihat tingkah konyol Olga. Tapi, jelas, saya bukan Olga Lovers. Namun saya sangat yakin kalau bulan puasa dan Lebaran tahun ini akan berbeda. Tidak ada lagi Olga di layar kaca.
Bagi dunia hiburan tanah air, Olga bak magnet yang memiliki kekuatan untuk mendongkrak rating. Teman saya, salah seorang tim kreatif TV swasta, bahkan mengaku harus mengantri berbulan-bulan bila ingin mengundang Olga di acaranya.
Ia tak menyangka, ketika bertemu, ternyata wajah Olga tampak begitu lelah. Mungkin letih karena saban hari mengisi acara di berbagai stasiun TV. Tapi, katanya, ketika ia mulai syuting, semua lelahnya hilang seketika. Saya berpikir singkat. Mungkin terbayar lunas oleh gelak tawa para penonton yang berhasil dihiburnya. Bukankah bagi Olga menghibur mereka adalah segalanya?
Kalau biasanya Olga berhasil membuat mereka tertawa, maka kemarin, ia pun berhasil membuat mereka bersedih dan menangis. Jumlahnya mungkin lebih banyak dibanding yang pernah ia buat tertawa. Olga, Anda luar biasa. Tak banyak orang yang bisa membuat orang tertawa dan menangis sedemikian riuhnya.
Saya bukan Olga Lovers, juga bukan Olga Haters. Meski banyak tingkahnya yang terkadang dirasa di luar batas 'kekomedian', saya maklum. Meski leluconnya terkadang itu itu saja dan lebih mengandalkan pukul memukul pakai benda imitasi dan menjatuhkan diri ke lantai, saya sangat maklum. Olga, toh, tidak sempurna. Dibanding lagaknya menjatuhkan diri ke lantai sesekali, syukurilah banyak orang yang tergelak hingga jatuh di lantai karena tertawa melihat ia melawak. Karenanya, ia lebih sering membuat mereka terhibur.
Buat saya, perjuangan hidupnya yang merangkak dari nol lebih dari cukup untuk dijadikan inspirasi. Pelukannya yang hangat ketika membantu orang yang sedang susah, lebih dari cukup untuk membuat doa mereka benar-benar tulus menghantarkan kepergiannya kali ini.